Senin, 20 Mei 2013

Silogisme Berpikir Mahasiswa Kini


    Seringkali saya dengar, nasihat dari orang-orang yang lebih tua dari saya dan berbagi pengalaman; bahwa perkuliahan bukan soal duduk dan masuk kelas mendengarkan dosen, tetapi soal pembentukan pola pikir. Kebanyakan dari mereka yang berpendapat demikian adalah orang-orang yang telah merasakan pekerjaan sebagai karyawan/pegawai di perusahaan-perusahaan ternama. Mereka adalah orang yang fasih betul dalam dunia akademis dan merasakan, hardskill yang mereka pelajari di bangku sekolah tidak sepenuhnya terpakai.


Alih-alih jadi membicarakan kurikulum Indonesia yang sering bergonta-ganti dengan ikut di gantinya menteri pendidikan, ada hal penting yang disadari betul oleh orang-orang sebelum saya; perkuliahan adalah proses pembentukan output masa depan bangsa. Masa depan bangsa kita ada di tangan kita yang masih muda, yang masih cukup banyak tenaga untuk berkarya.
Selama saya berkuliah di kampus teknologi di pinggir kota Bandung, saya menemukan kenyataan tentang pola pikir tersebut. Kebetulan, saya berkecimpung pada dunia pembinaan dan pembentukan kader di suatu himpunan fakultas saya. Dalam proses pembentukan sebuah pola kaderisasi, saya melakukan benchmarking ke berbagai kampus di Bandung dan di Jakarta, melakukan banyak diskusi dan menarik beberapa kesimpulan. Bahwasannya, ada kebobrokan sistem di tengah-tengah organisasi internal mahasiswa yang menurut saya sendiri, berperan besar pada orang-orang yang kini duduk di bangku Senayan. Bagaimana tidak, orang-orang yang duduk di kursi BEM atau pun himpunan kebanyakan dari mereka tidak mengerti soal politik dan hanya sok tahu. Membangun sebuah sistem dari asumsi dan seringkali hanya feeling. Untuk di sebuah lingkungan akademisi adalah menjadi pertanyaan bahwa setiap informasi yang diberikan tidak valid, padahal mereka mengerti betul soal validitas. Mereka yang duduk bersama dan berkumpul berpolitik hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti politik. Secara kompetensi pun menjadi pertanyaan besar, sebab selama ini hampir tidak ada hal berarti yang bisa di lakukan oleh BEM institusi mana pun. Setuju?
Jika kita tarik lagi waktu kepada peristiwa Mei ‘98, Mahasiswa sempat menjadi momok bagi bangsa dalam penumbangan sebuah rezim tak terkalahkan dan yang paling zalim yang pernah ada setelah Indonesia merdeka. Rezim yang punya catatan kelam soal HAM dengan ribuan kasusnya yang belum terselesaikan hingga sekarang. Jatuhnya rezim, mahasiswa ‘98 berkata keras soal reformasi, tetapi apa yang telah kita dapat hingga saat ini? Tidak ada perubahan yang berarti. Yang ada korupsi makin merajalela, dan nama-nama mereka yang berjuang dan disebut-sebut pada peristiwa Mei ‘98 hanya tinggal kenangan. Mungkin mereka sudah lelah dengan bangsa ini atau sudah hidup enak dengan fasilitas yang negara berikan? Kita tidak tahu pasti. Kita juga tidak tahu latar belakang apa yang menyebabkan mahasiswa mau bersatu padu untuk menjatuhkan suatu rezim yang kokoh berdiri selama 32 tahun. Kita tidak tahu tujuan mereka apakah sudah tercapai. Intinya, kita tidak tahu dan mereka tidak meminta kita untuk meneruskan perjuangan mereka. Mereka tidak meminta kita, atau tidak menyadari keberadaan kita? Orang-orang setelah mereka.
Dalam keilmuan perkuliahan saya, saya mempelajari tentang yang dinamakan transfer knowledge. Orang-orang mulai banyak berbicara soal pentingnya pendidikan, setidaknya di kampus saya. Padahal Bung Karno sudah lama bicara tentang itu hingga menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan dalam undang-undang dasar. Bangsa ini sepertinya begitu mudah melupakan masa lalu, hingga banyak di antara kita yang masih belum mengetahui soal ini. Atau sebenarnya sadar tapi tidak mau berbuat? Perbuatan akan dilakukan di awali dengan pikiran. Menjadi pertanyaan apa yang sebenarnya kita pikirkan tentang kehidupan bangsa kita ? Apa sebenarnya pola pikir yang kalian bentuk? Seperti apa?
Dewasa ini,  mahasiswa (anak muda) cenderung bukan menjadi contoh yang baik bagi generasi pelajar (ABG). Mahasiswa kini sering masuk layar kaca dalam sebuah bentrokan, kerusuhan, tawuran, kekacauan. Membuat aksi secara separatis, tidak pernah terkoordinasi dengan baik sama baiknya seperti peristiwa Mei ‘98. Mahasiswa yang saya lihat sekarang adalah orang-orang hedon yang menyukai foya-foya dan pesta pora. Sementara orang-orang yang duduk di kursi politik kampus yang tidak memiliki prestise hanyalah tempat bagi orang-orang nerd yang tidak eksis sewaktu SMA, atau mereka yang ingin memanfaatkannya demi kepentingan pribadi atau golongan semata. Apa bedanya dengan yang kita lihat di layar kaca dengan para pejabat Senayan?
Menurut saya, kita belum benar-benar concern pada pembentukan karakter. Mahasiswa sekarang tidak memiliki karakter kuat seperti mahasiswa ‘98, mahasiswa ‘66, dan mahasiswa ‘45. Apakah butuh lebih dari 20 tahun baru bisa kita membentuk generasi yang berkarakter? Lalu begitu saja lenyap di telan jaman. Kita butuh sebuah sistem pembentukan karakter yang berkala, dan merangkul semua mahasiswa. Yang seharusnya membuat mahasiswa belajar betul apa yang terjadi pada masa lalu, agar tidak terjadi di kehidupan mendatang atau setidaknya tidak diulangi semua yang sudah salah kaprah. Bagaimana caranya? Pikir. Aksi. Itulah Mahasiswa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar