Seringkali saya dengar, nasihat dari orang-orang yang
lebih tua dari saya dan berbagi pengalaman; bahwa perkuliahan bukan
soal duduk dan masuk kelas mendengarkan dosen, tetapi soal pembentukan
pola pikir. Kebanyakan dari mereka yang berpendapat demikian adalah
orang-orang yang telah merasakan pekerjaan sebagai karyawan/pegawai di
perusahaan-perusahaan ternama. Mereka adalah orang yang fasih betul
dalam dunia akademis dan merasakan, hardskill yang mereka pelajari di
bangku sekolah tidak sepenuhnya terpakai.
Alih-alih jadi membicarakan kurikulum Indonesia yang sering
bergonta-ganti dengan ikut di gantinya menteri pendidikan, ada hal
penting yang disadari betul oleh orang-orang sebelum saya; perkuliahan
adalah proses pembentukan output masa depan bangsa. Masa depan bangsa
kita ada di tangan kita yang masih muda, yang masih cukup banyak tenaga
untuk berkarya.
Selama saya berkuliah di kampus teknologi di pinggir kota Bandung, saya
menemukan kenyataan tentang pola pikir tersebut. Kebetulan, saya
berkecimpung pada dunia pembinaan dan pembentukan kader di suatu
himpunan fakultas saya. Dalam proses pembentukan sebuah pola kaderisasi,
saya melakukan benchmarking ke berbagai kampus di Bandung dan di
Jakarta, melakukan banyak diskusi dan menarik beberapa kesimpulan.
Bahwasannya, ada kebobrokan sistem di tengah-tengah organisasi internal
mahasiswa yang menurut saya sendiri, berperan besar pada orang-orang
yang kini duduk di bangku Senayan. Bagaimana tidak, orang-orang yang
duduk di kursi BEM atau pun himpunan kebanyakan dari mereka tidak
mengerti soal politik dan hanya sok tahu. Membangun sebuah sistem dari
asumsi dan seringkali hanya feeling. Untuk di sebuah lingkungan
akademisi adalah menjadi pertanyaan bahwa setiap informasi yang
diberikan tidak valid, padahal mereka mengerti betul soal validitas.
Mereka yang duduk bersama dan berkumpul berpolitik hanyalah orang-orang
bodoh yang tidak mengerti politik. Secara kompetensi pun menjadi
pertanyaan besar, sebab selama ini hampir tidak ada hal berarti yang
bisa di lakukan oleh BEM institusi mana pun. Setuju?
Jika kita tarik lagi waktu kepada peristiwa Mei ‘98, Mahasiswa sempat
menjadi momok bagi bangsa dalam penumbangan sebuah rezim tak terkalahkan
dan yang paling zalim yang pernah ada setelah Indonesia merdeka. Rezim
yang punya catatan kelam soal HAM dengan ribuan kasusnya yang belum
terselesaikan hingga sekarang. Jatuhnya rezim, mahasiswa ‘98 berkata
keras soal reformasi, tetapi apa yang telah kita dapat hingga saat ini?
Tidak ada perubahan yang berarti. Yang ada korupsi makin merajalela, dan
nama-nama mereka yang berjuang dan disebut-sebut pada peristiwa Mei ‘98
hanya tinggal kenangan. Mungkin mereka sudah lelah dengan bangsa ini
atau sudah hidup enak dengan fasilitas yang negara berikan? Kita tidak
tahu pasti. Kita juga tidak tahu latar belakang apa yang menyebabkan
mahasiswa mau bersatu padu untuk menjatuhkan suatu rezim yang kokoh
berdiri selama 32 tahun. Kita tidak tahu tujuan mereka apakah sudah
tercapai. Intinya, kita tidak tahu dan mereka tidak meminta kita untuk
meneruskan perjuangan mereka. Mereka tidak meminta kita, atau tidak
menyadari keberadaan kita? Orang-orang setelah mereka.
Dalam keilmuan perkuliahan saya, saya mempelajari tentang yang dinamakan
transfer knowledge. Orang-orang mulai banyak berbicara soal pentingnya
pendidikan, setidaknya di kampus saya. Padahal Bung Karno sudah lama
bicara tentang itu hingga menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan dalam
undang-undang dasar. Bangsa ini sepertinya begitu mudah melupakan masa
lalu, hingga banyak di antara kita yang masih belum mengetahui soal ini.
Atau sebenarnya sadar tapi tidak mau berbuat? Perbuatan akan dilakukan
di awali dengan pikiran. Menjadi pertanyaan apa yang sebenarnya kita
pikirkan tentang kehidupan bangsa kita ? Apa sebenarnya pola pikir yang
kalian bentuk? Seperti apa?
Dewasa ini, mahasiswa (anak muda) cenderung bukan menjadi contoh yang
baik bagi generasi pelajar (ABG). Mahasiswa kini sering masuk layar kaca
dalam sebuah bentrokan, kerusuhan, tawuran, kekacauan. Membuat aksi
secara separatis, tidak pernah terkoordinasi dengan baik sama baiknya
seperti peristiwa Mei ‘98. Mahasiswa yang saya lihat sekarang adalah
orang-orang hedon yang menyukai foya-foya dan pesta pora. Sementara
orang-orang yang duduk di kursi politik kampus yang tidak memiliki
prestise hanyalah tempat bagi orang-orang nerd yang tidak eksis sewaktu
SMA, atau mereka yang ingin memanfaatkannya demi kepentingan pribadi
atau golongan semata. Apa bedanya dengan yang kita lihat di layar kaca
dengan para pejabat Senayan?
Menurut saya, kita belum benar-benar concern pada pembentukan karakter.
Mahasiswa sekarang tidak memiliki karakter kuat seperti mahasiswa ‘98,
mahasiswa ‘66, dan mahasiswa ‘45. Apakah butuh lebih dari 20 tahun baru
bisa kita membentuk generasi yang berkarakter? Lalu begitu saja lenyap
di telan jaman. Kita butuh sebuah sistem pembentukan karakter yang
berkala, dan merangkul semua mahasiswa. Yang seharusnya membuat
mahasiswa belajar betul apa yang terjadi pada masa lalu, agar tidak
terjadi di kehidupan mendatang atau setidaknya tidak diulangi semua yang
sudah salah kaprah. Bagaimana caranya? Pikir. Aksi. Itulah Mahasiswa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar