Implementasi batas studi maksimal lima
tahun di perguruan tinggi adalah tak lain suatu turunan dari upaya yang
mengarah pada pereduksian semangat kritis mahasiswa era kontemporer. Tuntutan
penyelesaian seluruh beban studi maksimal hanya lima tahun membuat haluan hanya
terarah pada penyelesain kuliah secepat mungkin. Peran utama mahasiswa perlahan
terbungkam ketika kampus menyuguhkan kebijakan dagelan dengan dalih
intelektualitas, gerakan mahasiswa tak lagi masif, sikap kritis tak lagi
runcing, elit negeri tertawa renyah.
Bila kita buka lembar dimensi histori pergerakan
mahasiswa Indonesia, masa normalisasi kehidupan kampus/ badan koordinasi kampus
(NKK/BKK) adalah masa suram bagi seluruh aktivis mahasiswa, mahasiswa
dikejar-ditangkap, dewan mahasiswa (DEMA) tak berdaya. Rencana pemberlakuan
pemotongan masa kuliah seolah membuat kita bepikir ini merupakan daya untuk
mendisorientasikan nilai yang sudah terbentuk dikalangan mahasiswa dan membuat
kita berasumsi ini adalah sebagai bentuk dari Neo NKK/BKK.
Substansi dari pemberlakuan NKK/BKK orde
lama dan Neo NKK/BKK sekarang adalah hal yang serupa. Bila di era 70an, NKK/BKK
dibuat sebagai suatu pola pembengarusan mahasiswa orde lama dengan mengawasi gerak-gerik
mahasiswa agar membuat mahasiswa tidak terjun terlalu jauh dalam perkara
pemerintahan. Hari ini, hal demikian secara substansi akan terulang kembali
ketika isu implementasi percepatan masa studi benar diimplementasikan. Batas
maksimal kuliah yang dipersingkat membuat peran mahasiswa sebagai mitra kritis
pemerintah tak lagi tajam ketika mahasiswa hanya dituntut untuk kuliah secepat
mungkin.
Terjadi shifting of value tatkala mahasiswa dibayangi orientasi kuliah
secepat mungkin dan menyampingkan hal lainnya. Pengembangan diri diluar ruang
kelas tak lagi bisa maksimal, tugas dan fungsi mahasiswa mengawasi hegemoni
elit atas dasar kepentingan rakyat tak lagi ada.
Ketika bangsa ini dalam keadaan krisis
disetiap lini, sebuah anomali bila kondisi mahasiswa tak lagi ideal. Seolah
semua ini adalah sebagai upaya mematikan andil dan gerakan mahasiswa. Ketika
pemerintah pusat masih mengkaji dan menunda pemberlakuan Permendikbud nomor 49
tahun 2014 tentang pembatasan masa studi, namun yang terjadi saat ini di
beberapa kampus termasuk Universitas Sriwijaya sangat kontradiktif. Isu rencana
pemberlakuan kuliah lima tahun yang akan terapkan itu seolah menjadi kran
lahirnya Neo NKK/BKK era kontemporer. Kebijakan ini dikhawatirkan hanya akan
menumbuhkan budaya pragmatis dan membentuk kerangka berpikir praktis mahasiswa serta
kehilangan orientasi kuliah kecuali lulus secepat mungkin. Mahasiswa dikurung
dalam ruang kelas demi mengejar beban dan masa studi, semangat berkaryanya
diluar kelas dirudupaksa. Kebijakan ini seolah mendewakan masa studi cepat
adalah keniscayaan yang menjamin pasca bangku kuliah, kampus tak lagi sebagai rahim
para pemimpin bangsa, mahasiswa disiapkan untuk tidak menjadi cendekia namun
hanya dilatih untuk menjadi buruh para elit kapitalis dan tunduk kepada kaum
feodal. Ini ancaman.
Sikap dari pragmatisme mahasiswa hasil
dari disorientasi akibat dari kebijakan ini akan menumpulkan atmosfer
mengkritisi kebijakan elit yang tidak berpihak pada rakyat, bahkan sikap
apatislah yang akan timbul. Padahal sejatinya, DNA dari mahasiswa sendiri ialah
gelora untuk memperbaiki negeri atas dasar kemaslahatan rakyat, namun ketika
ini dikekang dan dibatasi dengan berbagai alasan stereotip, hanya ada satu
kata, LAWAN !!!
Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!
Oleh : Rozy Ahimsyah Pratama
(082281457530)