"..........melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, MENCERDASKAN
KEHIDUPAN BANGSA, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial,..........”
Kutipan Pembukaan UUD 1945 di atas sudah sangat sering kita dengarkan sejak dibangku Sekolah Dasar, dan itu diucapkan pada setiap momentum upacara penaikkan bendera merah putih. Jika kita renungkan kembali kalimat tersebut, para founding father negara ini ingin menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan, dan negara dalam hal ini pemerintah wajib membiayainya. Sehingga tidak mengherankan ketika pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN maupun APBD meskipun masih jauh panggang dari pada api. Ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945.
Tetapi aturan tersebut seolah kontras dengan realita yang terjadi di “Kampus Kuning” Universitas Sriwijaya, karena sejak diberlakukannya sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk mahasiswa 2013, seolah keadilan untuk memperoleh pendidikan tinggi yang terjangkau menjadi impian semu. Padahal jika kita melihat tujuan sistem UKT yakni untuk menghindari adanya pungutan liar dalam agenda perkuliahan mahasiswa, serta dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa kurang mampu untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi. Namun faktanya, pihak birokrasi Universitas Sriwijaya justru melakukan tindakan yang berkebalikan dengan tujuan sistem UKT, terbukti lebih dari 50 persen mahasiswa yang mengajukan penurunan UKT tidak dikabulkan, bahkan mirisnya terdapat mahasiswa yang nilai nominal UKT-nya justru dinaikkan.
Kejadian tersebut mencerminkan bahwa pada kenyataannya birokrasi Universitas Sriwijaya tidak siap menjalankan sistem UKT sebagai sistem pembayaran bagi mahasiswa 2013, karena proses verifikasi pendapatan dan kapasitas ekonomi orang tua / wali tidak dijalankan dengan maksimal dan terkesan menerka-nerka. Sehingga mahasiswa yang semestinya memperoleh nominal UKT yang rendah justru mendapatkan level UKT yang tinggi. Akibatnya banyak mahasiswa yang terancam tidak mampu membayar biaya kuliah pada semester genap ini.
Seharusnya jika pihak birokrasi Universitas Sriwijaya memang serius untuk menerapkan sistem UKT, maka sistem verifikasi pendapatan orang tua / wali mesti diperbaiki dan menganut asas profesionalitas. Atau jika hal tersebut tidak mampu dilaksanakan, maka akan lebih baik bila sistem pembayaran uang kuliah di Universitas Sriwijaya dikembalikan pada sistem yang lama, sebab judicial review UU PT telah menghasilkan keputusan bahwa Mahkamah Konstitusi menolak UU PT.
CARUT MARUTNYA BIROKRASI UNSRI, akibat dari tidak profesionalnya birokrasi Unsri dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya berimbas kepada kegagalan sistem UKT, tetapi juga berimbas kepada keputusan drop out (DO) mahasiswa 2011 yang tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku di Unsri. Jika kita merujuk kepada Buku Panduan Akademik Universitas Sriwijaya 2011, disana dijelaskan bahwa mekanisme DO seorang mahasiswa harus melalui tahap Surat Peringatan (SP). SP dari Ketua Program Studi atau Ketua Jurusan mesti diberikan, jika seorang mahasiswa memperoleh IPK kurang dari 2,0 untuk pertama kalinya, kemudian jika mahasiswa tersebut mendapatkan IPK kurang dari 2,0 untuk kedua kalinya maka SP harus dikeluarkan oleh Dekan bersangkutan. Kemudian bila di akhir tahun ke-2 (semester 4) IPK mahasiswa tersebut tetap kurang dari 2,0 maka mahasiswa tersebut harus di DO. Tetapi realitanya mekanisme SP tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan janggalnya mahasiswa yang ditetapkan akan di DO, justru tidak di DO pada semester 4 (masih diberikan kesempatan kuliah di semester 5) tetapi nilai semester 5 dianggap tidak ada atau tidak berlaku, dengan artian usaha yang dilakukan saat semester 5 menjadi sia-sia.
Ini adalah perilaku tidak adil rekan-rekan. Memang mahasiswa yang di DO pada dasarnya melanggar aturan universitas, tetapi mereka tidak memperoleh perilaku mekanisme yang berlaku serta dalam hal ini pihak birokrasi Unsri juga melanggar aturan yang berlaku karena tidak menjalankan mekanisme yang ada.
Oleh karena itu melihat fakta carut marutnya birokrasi Unsri, jangan sampai mahasiswa menjadi korban keteledoran sistem kampus ini. Sebab “mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah tugas pemerintah termasuk Universitas Sriwijaya yang merupakan bagian dari pendidikan tinggi, maka mahasiswa mesti memperoleh biaya kuliah yang terjangkau dan mahasiswa tidak boleh di DO tanpa menerima hak mereka yakni penerapan mekanisme yang sesuai dengan aturan.
Oleh : Hayrunizar – Presiden Mahasiswa BEM KM Unsri 2013-2014
thank's informasinya.
BalasHapuswww.kiostiket.com