Rabu, 30 Maret 2016

Kuliah Lima Tahun dan Pentas Gerakan Mahasiswa.



Implementasi batas studi maksimal lima tahun di perguruan tinggi adalah tak lain suatu turunan dari upaya yang mengarah pada pereduksian semangat kritis mahasiswa era kontemporer. Tuntutan penyelesaian seluruh beban studi maksimal hanya lima tahun membuat haluan hanya terarah pada penyelesain kuliah secepat mungkin. Peran utama mahasiswa perlahan terbungkam ketika kampus menyuguhkan kebijakan dagelan dengan dalih intelektualitas, gerakan mahasiswa tak lagi masif, sikap kritis tak lagi runcing, elit negeri tertawa renyah.
Bila kita buka lembar dimensi histori pergerakan mahasiswa Indonesia, masa normalisasi kehidupan kampus/ badan koordinasi kampus (NKK/BKK) adalah masa suram bagi seluruh aktivis mahasiswa, mahasiswa dikejar-ditangkap, dewan mahasiswa (DEMA) tak berdaya. Rencana pemberlakuan pemotongan masa kuliah seolah membuat kita bepikir ini merupakan daya untuk mendisorientasikan nilai yang sudah terbentuk dikalangan mahasiswa dan membuat kita berasumsi ini adalah sebagai bentuk dari Neo NKK/BKK.
Substansi dari pemberlakuan NKK/BKK orde lama dan Neo NKK/BKK sekarang adalah hal yang serupa. Bila di era 70an, NKK/BKK dibuat sebagai suatu pola pembengarusan mahasiswa orde lama dengan mengawasi gerak-gerik mahasiswa agar membuat mahasiswa tidak terjun terlalu jauh dalam perkara pemerintahan. Hari ini, hal demikian secara substansi akan terulang kembali ketika isu implementasi percepatan masa studi benar diimplementasikan. Batas maksimal kuliah yang dipersingkat membuat peran mahasiswa sebagai mitra kritis pemerintah tak lagi tajam ketika mahasiswa hanya dituntut untuk kuliah secepat mungkin.
Terjadi shifting of value tatkala mahasiswa dibayangi orientasi kuliah secepat mungkin dan menyampingkan hal lainnya. Pengembangan diri diluar ruang kelas tak lagi bisa maksimal, tugas dan fungsi mahasiswa mengawasi hegemoni elit atas dasar kepentingan rakyat tak lagi ada.
Ketika bangsa ini dalam keadaan krisis disetiap lini, sebuah anomali bila kondisi mahasiswa tak lagi ideal. Seolah semua ini adalah sebagai upaya mematikan andil dan gerakan mahasiswa. Ketika pemerintah pusat masih mengkaji dan menunda pemberlakuan Permendikbud nomor 49 tahun 2014 tentang pembatasan masa studi, namun yang terjadi saat ini di beberapa kampus termasuk Universitas Sriwijaya sangat kontradiktif. Isu rencana pemberlakuan kuliah lima tahun yang akan terapkan itu seolah menjadi kran lahirnya Neo NKK/BKK era kontemporer. Kebijakan ini dikhawatirkan hanya akan menumbuhkan budaya pragmatis dan membentuk kerangka berpikir praktis mahasiswa serta kehilangan orientasi kuliah kecuali lulus secepat mungkin. Mahasiswa dikurung dalam ruang kelas demi mengejar beban dan masa studi, semangat berkaryanya diluar kelas dirudupaksa. Kebijakan ini seolah mendewakan masa studi cepat adalah keniscayaan yang menjamin pasca bangku kuliah, kampus tak lagi sebagai rahim para pemimpin bangsa, mahasiswa disiapkan untuk tidak menjadi cendekia namun hanya dilatih untuk menjadi buruh para elit kapitalis dan tunduk kepada kaum feodal. Ini ancaman.
Sikap dari pragmatisme mahasiswa hasil dari disorientasi akibat dari kebijakan ini akan menumpulkan atmosfer mengkritisi kebijakan elit yang tidak berpihak pada rakyat, bahkan sikap apatislah yang akan timbul. Padahal sejatinya, DNA dari mahasiswa sendiri ialah gelora untuk memperbaiki negeri atas dasar kemaslahatan rakyat, namun ketika ini dikekang dan dibatasi dengan berbagai alasan stereotip, hanya ada satu kata, LAWAN !!!
Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat Indonesia!


Oleh : Rozy Ahimsyah Pratama 
(082281457530)